Monday 6 December 2010

Kisah tentang ibu

“Bangun Nak, udah waktunya sholat subuh..!” , lagi-lagi kata itu yang aku dengar tiap pagi buta. “Capek bu, aku masih ngantuk banget. Kemarin aku kerja sampai malam, bentar lagi aku bangun...”, berulang-ulang pula tiap pagi kuucapkan kata2 itu. Bisa sampai tiga kali ibu membangunkanku. Aku hanya berpikir jam 05.30 an masih bisa kupakai sholat subuh.
”Nak, jam 6.30 ini. Kamu belum sholat, belum siap2 ke kantor..... Bangun sayang!”. Saat itu juga ku terhenyak, segera sholat, mandi, lalu siap2 pergi ke kantor. Aku butuh 1 jam perjalanan ke kantor, maklum macetnya tidak bisa diajak kompromi.
”Nak, ibu bikin omelet kesukaan kamu, sarapan dulu ya..?”
”Ibu, aku makan di kantor aja. Aku udah telat....!”. Ku cium tangan ibu, dan sambil kulihat jam tanganku sudah menunjuk pukul 07.05. Sesegera ku raih pintu mobil karena aku tak mau terlambat. ”Assalamu’alaikum...” seruku ke Ibu. ”Wa’alaikum salam... Warahmatullah...” jawab ibuku dan sempat kulirik senyum hangat yang khas dari sudut bibir ibu yang mulai keriput. Ibuku... Meski kadang menjengkelkan karena kecerewetan beliau, tapi aku sangat menyayanginya.
”Bu, malam ini aku ada meeting, aku pulang aga malem. Assalamu’alaikum”, kataku sesaat sebelum kututup telponku.
Jam tanganku menunjuk angka 22.30, segera kumasukkan mobil ke garasi. Di ruang tengah ibu masih nonton TV. ”Kok malem sekali, Nak”, sapa beliau disertai senyum khas beliau. Aku tahu, Ibu berusaha menutupi kelelahan setelah mengurus pekerjaan rumah seharian. Ibu bergegas dari sofa di depan TV, ”Ibu rebusin air ya, mandi biar seger lalu makan, baru tidur. Ibu udah buatkan ayam goreng”.
”Aku mandi aja, tadi udah makan sama teman2”, segera ku masuk kamar, ganti baju dan bersiap untuk mandi.
Entah kenapa, malam ini aku belum bisa segera tidur. Badanku sangat lelah, tapi sulit kupejamkan mataku. Malam ini aku kepikiran ibuku.... Ibu udah susah payah masak omelet dan ayam goreng, tapi tidak ku makan. Aku pasti mengecewakannya. Di usia beliau saat ini, sudah waktunya beliau hidup enak. Kapan lagi aku bisa menyenangkan beliau. Besok aku akan cari seorang pembantu, untuk menggantikan pekerjaan ibu. Kapan lagi aku bisa membalas kebaikan ibuku.

Dua minggu berlalu, sekarang ibu tak perlu repot-repot ke pasar, memasak, bersih2 rumah, mencuci, setrika, sirami bunga dan pekerjaan lain yang menguras tenaga. Aku lega, karena sekarang ibu tak perlu bercapek-capek lagi. Aku tidak hanya merepotkan dan menyakiti hatinya.
Tapi entah mengapa, aku tak melihat senyum khas ibuku tiap aku pergi dan pulang kantor. Kenapa?
Setelah makan malam, aku ajak ibuku ke teras. ”Ibu, beberapa hari ini kok tidak kayak biasanya, ibu kurang sehat ya....?”. Beliau hanya diam. Matanya menerawang ke jalan depan rumah kami. ”Ibu, aku udah bikin salah sama Ibu? Ananda minta maaf ya....”, sambil aku bergeser duduk persis di sebelah Ibu. Kupandangi raut muka beliau yang sedang menyimpan kata-kata. Tak lama, kulihat kedua mata ibu berkaca-kaca. Astaghfirullah, ada apa ya Allah. Aku telah melukai hati Ibuku. ”Ibu, ananda mohon maaf jika punya salah, tolong Ibu cerita sama aku.....”.
”Kamu jahat. Sedari kamu kecil, kedua tangan ini menggendong kamu, menyiapkan makan untukmu, nyuapin kamu, mencuci bajumu dan melakukan semuanya untukmu. Ibu tak pernah mengijinkan kata ’lelah’ masuk dalam hidup ibu. Ibu sangat senang melakukannya. Sekarang sudah ada Inah yang menggantikan semua pekerjaan Ibu”.
”Ibu, bukannya itu lebih baik, ibu tak perlu capek lagi, tak perlu repot-repot beresin pekerjaan rumah. Kapan lagi aku bisa buat ibu senang. Mohon maaf, ini tak seberapa. Tetap tak akan bisa menggantikan semua kebaikan Ibu padaku” kurengkuh ibuku, aku merasakan seperti seorang anak balita yang memeluk Ibunya.
”Senang katamu...! Kamu pikir ibu senang? Ibu bahagia? Kamu telah memisahkan seorang ibu dengan anaknya. Kamu telah menjauhkan aku dengan anakku. Yang ibu lakukan ke anak ibu bukan kewajiban. Tapi bagi ibu, itu adalah kebutuhan, karena ibu menginginkannya. Kebutuhan seorang ibu untuk meluapkan kasih sayang pada anaknya. Ibu menjadi orang yang tidak lagi berguna sama sekali buatmu dan hanya menunggu ajal. Apa kamu rela...?”
Seperti disambar petir rasanya, sebuah kesalahan besar telah kuperbuat. ”Ibunda, aku minta maaf, aku tetap anak kecil ibu yang selalu membutuhkan Ibu”. Kupeluk erat ibuku, dan entah sejak kapan pipiku telah basah oleh air mataku.

Tak menunggu besok, malam ini aku langsung berbicara pada Bik Inah, berusaha menjelaskan dengan sesopan mungkin supaya Bik Inah tidak tersinggung dan kebetulan juga Mas Andi, temanku sekantor baru punya baby, jadi butuh pembantu. Untungnya Bik Inah bisa mengerti.

”Sayang, udah jam 04.00 pagi.... subuh dulu gih ”. Tak berlama-lama, aku langsung bergegas bangun dan entah bagaimana rasa kantukku langsung hilang.
”Bu, aku kok ingin omelet ya...” pintaku sambil beranjak ke kamar mandi.
Dan pagi itu kami sarapan bareng sebelum aku berangkat kantor. Aku sudah tidak ingat kapan terakhir makan omelet buatan ibuku. ”Hmm enak.... ibu coba resep baru ya....?”.
"Engga tuh, kenapa? Kurang enak?"
"Enak... Enak kok Bu"
Ini omelet terenak yang pernah aku makan. Terima Kasih Ibu...

3 comments:

  1. It's really very interesting story.
    I am so inspired with it.
    I will recommend all my friends to read it soon.

    ReplyDelete
  2. salut mas..
    izin nyimak dulu......


    jangan lupa kunjungan baliknya
    >> http://blog.umy.ac.id/mahrus <<

    ReplyDelete
  3. Very nice point you have droped here.

    ReplyDelete