Sunday 6 March 2011

Kenapa pilih PU ?

Tanpa basa basi terlalu lama, Agustus nanti jika tak ada halangan yang berarti saya akan memulai kuliah di Presiden University, salah satu kampus berbasis Internasional University . Mengapa saya membulatkan tekad kuliah disana? Yang pertama tentunya setelah saya mendapat beasiswa kategori 2, yaitu subsidi 180 juta rupiah saat kuliah bahkan bisa meningkat jika Indeks Prestasi saya mengagumkan tentunya . Yang kedua adalah setelah saya telusuri di kitab google, akhirnya saya mengetahui sistem belajar mereka, Apa itu? Mereka menerapkan sistem Learning Revolution.

Learning Revolution sendiri adalah cara belajar sensasional yang diterapkan di President University. Mengapa mereka menerapkan Learning Revolution ? Menurut Jhanghiz Syahrivar (Asdos Fakultas Ekonomi President University *c miiw) ada poin poin yang harus diubah dari sistem belajar di negara ini . Apa ?
1 . Menghafal
2 . Takut Salah

Dalam hal ini, Jhangiz Syahrivar menggarisbawahi kata 'menghafal' sebagai budaya yang harus segera dirubah. Namun demikian, mari kita lihat sistem yang mendidik putra/i berbakat Indonesia untuk berlaku demikian:

1. MULTIPLE CHOICE
Multiple Choice atau Pilihan Ganda mendidik kita untuk berpikir secara logis bahwa setiap soal (baca: permasalahan) hanya memiliki satu jawaban (baca: solusi) yang benar. Padahal, kenyataannya di dunia, setiap permasalahan dapat memiliki segudang solusi dan alternative penyelesaian!
Yang lebih miris lagi adalah, Multiple Choice juga memberikan pesan yang cukup bermakna bagi semua orang bahwa yang tidak kompeten pun bisa sukses (baca: menjawab benar!). Bagaimana? Tentu saja dengan metode hitung kancing!
Lalu, apabila Multiple Choice itu tidak baik mengapa diterapkan? Jawabannya cukup sederhana, banyak pengajar kita yang malas untuk membuat apalagi setelahnya memeriksa soal berbentuk essay. Butuh waktu dan tenaga apalagi jika muridnya sangat banyak.

2. ESSAY
Mereka yang berani membuat soal model essay patut diacungkan jempol. Namun demikian, pertanyaannya ini sebenarnya selalu mengarah ke hal yang sama bahwa: setiap permasalahan hanya memiliki satu solusi. Kenapa? Coba lihat baik-baik bagaimana para pengajar ini membuat pertanyaan: "Apa pengertian dari..." atau "Jelaskan pengertian dari..." atau "Coba jabarkan..." dan berbagai variasi lain yang intinya adalah menanyakan pengertian akan suatu hal atau penjabaran akan sesuatu yang jawabannya pasti dan tertulis jelas di buku. Tampaknya para pengajar ini telah membuat hal yang berbeda dengan menghindari multiple choice tapi pada intinya adalah sama saja...
Bagaimana seorang pengajar bisa mengharapkan anak didiknya untuk berpikir kreatif apabila pertanyaannya pun tidak menunjang otak mereka untuk berlaku kreatif? Bahasa Inggrisnya adalah "As above so below!" atau "Sepertinya halnya di atas begitu juga yang di bawahnya!"
Konsekuensinya adalah murid lebih senang menghafal (kalau perlu titik dan komanya) karena menghindari resiko takut salah!
Alhasil dari sistem menghafal ini adalah murid sering lupa apa yang telah dipelajarinya (karena hanya menghafal bukan mengerti!). Jika anda computer tentulah habis di delete anda bisa telusuri recyle bin untuk me recover data yang hilang. Tapi bagaimana kenyataannya? Setelah lupa, amatlah sulit untuk mengingat pelajaran yang telah silam.

3. IPA dan IPS (baca: Si Pintar dan Si Bodoh)
Khususnya di tingkat SMA, banyak yang sangat menyesali bagaimana sekolah menggolongkan muridnya ke dalam basis IPA atau IPS murni berdasarkan perolehan nilai sang murid bukan kepada keinginan dan motivasi. Apabila pihak sekolah menggolongkan murid yang masuk IPA karena nilainya bagus, maka sebagai konklusinya adalah mereka yang tidak memiliki nilai yang cukup bagus harus mau belajar di IPS. Ahasil timbulah suatu pemahaman bahwa yang pintar pasti IPA dan yang bodoh adalah IPS. Benar? Akuilah.
Pendidikan kita telah gagal mengevaluasi murid seutuhnya tidak hanya dari kemampuan exacta tapi juga kemampun non-exacta. Pada akhirnya, kesuksesan seseorang bukan ditentukan dengan apakah ia mendapatkan nilai baik di Matematika, Fisika, dan Kimia tapi kepada PERANAN mereka di tengah masyarakat!

Apabila dilihat lebih jauh lagi, budaya pendidikan di Indonesia sama halnya dengan pendidikan di Cina (paling tidak Cina tempo dulu) yang lebih mengedepankan hafalan. Sistem hafalan mereka ini (baca: copy and paste)tercermin pula dalam produknya. Sebutlah handphone, televisi, pemutar DVD dan banyak produk elektronik lainnya (mengagumkan namun adakah yang inovasi? masih bisa dihitung jari). Keunggulan mereka adalah mampu membuat produk dengan kualitas yang cukup sama namun dengan harga yang lebih murah...

Jika mau belajar, contohlah orang Jepang yang super kreatif. Kegagalan mereka pada perang dunia ke 2 menjadi batu loncatan untuk menguasai dunia dengan teknologi! Perlu diketahui bahwa Jepang membangun negerinya dengan satu pertanyaan: "Mengapa kita bisa kalah?". Pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan yang positif dan membangun (self reflection). Jepang tidak berusaha menyalahkan negara lain atas kekalahannya... Sebagai gantinya, mereka tiru metode mengajar dari luar negeri namun dengan penyesuaian di sana sini. Copy and Modify! Kreatif? Kreatif dong!

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Jika kita menemui kegagalan, cenderung kita menanyakan hal seperti ini: apa yang menjadi masalah, kenapa masalah itu bisa terjadi, dan siapa yang menyebabkan masalah tersebut?? Yang kita bicarakan adalah masalah bukan solusi! yang kita cari bukan solusi tapi si pembuat masalah! Pemikiran seperti ini cenderung merusak dan tidak mampu membawa bangsa kita ke arah yang lebih baik.

Mari kita kembali ke trek semula. Learning Revolution! Kita mau merubah budaya-budaya tersebut namun harus ada alat atau media yang mampu membawa perubahan tersebut. Ingatlah apa yang saya katakan semula: As Above So Below! Jangan mengharapkan anak didik untuk kreatif apabila sang pengaajr sendiri tidak mampu memberi contoh dari kreativitas itu sendiri.


President University menyadari hal tersebut. Maka diterapkanlah beberapa solusi:

1. CASE STUDY
Mahasiswa/i diajak untuk berpikir kreatif dengan memberikan pendapat mereka dan solusi terhadap suatu kasus yang terjadi di masa silam. Pendapat dan solusinya bisa beraneka ragam. Uniknya adalah jawaban mereka tidak ada yang benar atau yang salah. Yang ada adalah tepat atau kurang tepat! Ini tentu saja mampu menepis budaya multiple choice kita dimana hanya ada satu jawaban yang benar terhadap satu permasalahan.

2. OPEN BOOK SYSTEM
President University adalah satu-satunya kampus yang menerapkan sistem BUKA BUKU ketika ujian. Dengan kata lain, mahasiswa/i diperbolehkan membawa text book sebanyak yang mereka mau ke dalam ruang ujian. Hal ini bukanlah untuk mendidik mereka menjadi bodoh namun mendidik agar TIDAK MENGHAFAL! Mahasiswa/i dipersilahkan membawa buku sebanyak yang mereka mau sebagai referensi namun pertanyaannya lah yang sangat kreatif! Soal dirancang sedemikian rupa sehingga bukan definisi/pemikiran dari si A atau si B yang keluar di lembar jawaban tapi pemikiran kreatif dari si murid!

3. UNIQUE SCORING SYSTEM
Pernah menonton film HARRY POTTER? Tentu kamu tahu bahwa murid-muridnya tidak hanya dinilai dari ujian saja tapi juga PERANAN mereka terhadap major mereka itu sendiri. Alhasil, Harry Potter yang tidak lebih pintar dari HERMIONE di bidang akademik bisa mendapatkan nilai yang tidak kalah bagusnya dan bahkan di akhir cerita lulus sebagai lulusan terbaik di Hogwartz.
Lalu? Begitulah sistem penilaian di PRESIDENT UNIVERSITY. Murid dinilai tidak hanya di bidang akademik tapi dari faktor-faktor lain seperti: Kemampuan berkomunikasi, memimpin, kreativitas, sikap dan lain sebagainya. Jadi bagi yang merasa gagal di ujian jangan menyerah dulu. Dunia belum kiamat karena kamu masih bisa tingkatkan diri di aspek lainnya.

4. REVERSED SCORING
Bosen di nilai terus di kelas? Yakin kamu gagal karena pengajar yang buruk? di President University, bukan hanya kamu yang dinilai performanya tapi juga dosennya. Siapa yang nilai? Ya kamu sendiri dong! Tidak perlu takut karena nama kamu tidak akan ada di questionnaire yang diberikan oleh pihak akademik. Intinya adalah supaya tenaga pengajar kami terus termotivasi dan yang terpenting adalah mau berubah ke arah yang lebih baik. Dosen itu sudah merasa puas dengan dirinya padahal 70% muridnya gagal? Ok, pintu President University terbuka lebar agar dia segera keluar karena masih banyak dosen berkualitas yang mengantri untuk mengajar di President University. Prinsip President University adalah apabila hanya sekelompok murid yang gagal di mata pelajaran tersebut, tentulah kesalahan terletak pada sistem belajar si murid. Namun, apabila banyak yang gagal dalam mata pelajaran tersebut, maka kesalahan tentulah terletak pada bagaimana sang dosen mengajar! KILLER LECTURERS MAY SAY GOOD BYE!

Saya rasa , Inilah yang membuat saya mengapa memilih President University .Saya yakin metode ini akan digunakan (read :copy paste) oleh universitas lainnya . Saya sendiri sudah cukup kesal dengan metode lama yaitu menghafal . Guru guru di SMAN 13 mayoritas hanya melihat kecerdasan murid dari nilai nilai ujian , bukan dari proses belajar mengajar . LETS CHANGE TO LEARNING REVOLUTION



*Penulis blog yang menulis artikel ini adalah calon mahasiswa baru yang sangat excited masuk President University

0 comments:

Post a Comment